Selasa, 19 April 2011

ISLAM LIBERAL atau ISLAM KAFFAH….?



Pahaman Liberalisasi ( Liberalisme )

Sudah menjadi kebiasaan barat, mereka menciptakan bermacam – macam istilah dan terminologi untuk meletakkan dunia islam dalam aneka perangkap, mereka mendiptakan sejumlah dikotomi : Islam tradisonal – Islam moderen, Islam moderat fundamental, Islam legalistik/formalistik substanti normatif, islam kultural – struktural, Islam inklusif – eksklusif, dan lain – lain istilah.

Barat juga sengaja melontarkan beragam istilah dan pemikiran dengan tendensi polotis maupun ideologis. Semua itu di maksudkan untuk meragukan keyakinan umat terhadap pemikiran islam serta melakukan permainan termin yang berbahaya, semata – mata karena ketakutan melihat revivalisme umat melalui ideologi islam. Mereka memunculkan pemikiran nasionalisme, pluralisme politik, hak asasi manusia, kebebasan manusia, globalisasi dansebagainya termasuk dalam hal ini adalah apa yang di kenal dengan istilah yang sangat absurd yaitu “ ISLAM LIBERAL “.

Istilah Iiberalisme dalam pemikiran islam kemudian di perkenalkan oleh seorang Professor Sosiolog islam di universitas North Carolina

Islam Liberal, Anaknya Demokrasi
Islam liberal di anggap sebagai suatu respon otentik islam dewasa ini, dengan mengambil khasanah terbaik dari masa lalu dan mengakarkannya kembali kepada persoalan keyakinan dengan mengapresiasi gagasan terbaik liberalisme barat.
Islam leberal yang di gulirkan intelektual barat  pada akhirnya lebih merupakan penarikan kesimpulan yang di hasilkan melalui telaah pemikiran para pemikir atau tokoh – tokoh muslim dari dunia islam tersebut dari pada mencoba menggali dan menelusuri sendiri pemikiran tersebut.

Charles Kurzman menyodorkan tiga ( 3 ) gagasan mengenai islam liberal  yakni : ( 1 ) Syariat Liberal “ liberal shariah, ( 2 ) Syariat diam “ Silent shariah, ( 3 ) Penafsiran syariah “ Interpreted shariah.
Secara ringkas mazhab islam liberal ini mungkin berakar pada ide Demokrasi, Pemikiran – pemikiran lain sebagai derifatnya akan terlihat sangat bertumpu pada paham demokrasi ini, seperti gagasan pemisahan antara Agama dan Negara, Hak – hak kepemimpinan wanita dan kekuasaannya, Kebebbasan penafsiran teks – teks agama, kebebasan berpikir dan berpendapat, tyoleransi beragama, dan gagasan – gagasan lain yang nampak memisahkan antara persoalan dunia dan persoalan akhirat.

Pemikiran mengenai hubungan antara negara dengan agama ( Islam ) merupakan persoalan krusial yang paling banyak mendapat penolakan dan tantangan dari pengusung islam liberal, argumentasi yang sering di pakai “ Negara Islam tak pernah di kenal dalam sejarah, Negara adalah dimensi dunia yang rasional dan kolektif sedang agama berdimensi spiritual dan individualistik, Masalah kenegaraan tidak menjadi bagian integral dari islam, Rasulullah Muhammad hanya menjadi penyampai risalah dan tidak mengepalai institusi politik dan sebagainya.

Penolakan gagasan ini pada akhirnya mengantarkan pada penerimaan secara total atas ide demokrasi dalam urusan kekuasaan, politik dan pemerintahan. Konsekwensi berikutnya menolak kebolehan seorang wanita dalm urusan pemerintahan dan kekuasaan adalah bertentangan dengan demokrasi, menolak keterlibatan warga negara dalam perbedaan prinsip agama adalah tidak sesuai dengan demokrasi, mengambil hukum atas perkara dalam urusan kemasyarakatan  di anggap sebagai suatu perbuatan diskriminasi atas agama lain. Demikianlah semua pemikiran derivasi ini akan berlindung di balik induknya.
Di balik munculnya pemikiran mazhab islam liberal ini jika di cermati dalam perspekti historis gagasanliberalisme dalam wacana pemikiran islam sebenarnya bukan masalah baru, penelusuran akan kemunculannya akan mengantarkan pada kita atas penemuan akar masalahnya, yakni ketika kelemahan dan kemunduran taraf berpikir merajelela di tengah umat islam sendiri.

Secara historis pada abad ke 15 M kekhilafahan utsmani berhasil menguasai sebagian besar dunia islam dan hingga akhir abad ke 16. akan tetapi  waktu itu khilafah urtsmani lebih memperhatikan kekuatan fisik dan militeristik, di sisi lain secara internal akan pemahaman dan pengetahuan yang menjadi urgensi dari sebuah penyiaran agama menjadi terabaikan  bahkan lebih dari itu islam yang di anggap sebagai pemikiran dan hukum yang dapat menciptakan tatanan sosial yang berkeadaban menjadi nomor selanjutnya. Sementara pada saat yang sama Eropa justru menemukan berbagai kemajuan antara abad ke 16 dan akhir abad ke 18, hal ini telah membuat sebagian dunia islam menjadi ketergantungan akan penemuan bangsa eropa tersebut sehingga terjadi pergeseran antara peradaban islam menjadi peradaban barat yang walaupu pada awalnya hanya sebatas aspek materi ( teknologi ) saja, akan tetapi bersamaan pula dengan hal tersebut maka menjamurlah pandangan – pandangan politik, unsur – unsur sivilisasi dan produk pemikiran barat  sehingga kemudian ini berjalan terus seiring dengan perkembangan zaman di mana pada fase selanjutnya kemudian islam telah di sejajarkan dengan standar – standar lain, atau di nilai dengan nilai – nilai tidak proporsional, dengan begitu di katakan misalnya islam layak karena di bangun berdasarkan prinsip demokrasi, islam layak survive karena dia bersifat dinamis dan fleksibel, islam adalah baik karena mangajarkan pemikiran ini dan itu, Demikianlah para intelektual berusaha menggali islam dengan nilai – nilai yang di pinjam dari aliran – aliran liberal asing.

Sehingga kemudian di akuinya prinsip – prinsip yang di adopsi dari barat, buruknya realitas tatanan sosial masyarakat di sebagian negara yang mayoritas islam, dan jeleknya hubungan antara pemeluk agama yang lebih di sebabkan kacaunya tatanan sosial dan ekonomi akibat implementasi sistem kapitalisme menambah kompleksnya masalah islam di arena kehidupan.
Dapatkah islam sebagai agama peradaban menerima tuntutan – tuntutan Neo -Modernitas…….? Memasuki abad ke – 22 ini. Pertanyaan seperti itu dan yang serupa muncul berkaitan dengan majunya teknologi dan ilmu pengetahuan.  Ernest renan, pemikir prancis terkenal mengatakan “ Tidak “ bukan karena pemeluk – pemeluk islamnya tetapi karena justru islam itu sendiri, baginya ada sesuatu yang keliru dalam karakter inheren islam .
Demikianlah kenyataan bahwa sesungguhnya islam di gambarkan dalam media – media barat sebagai ancaman barat yang memiliki kekuatan supernatural dari berbagai dimensi, ekonomi, politik demografi dan lainnya.
Kehawatiran kebangkitan  ( revivalisme ) islam seperti membuat barat merasa tidak cukup hanya menundukkan dunia islam secara politis, militer, dan ekonomi, persoalan terbesar mereka kini adalah bila mana ummat islam menyadari kembali ideologinya, maka eksistensi barat  yang hanya menghasilkan kekayaan materi  akan terguncang.

Melekatkan istilah Liberal terhadap islam adalah perang tendensius secara teologis maupun ideologis, barat yang sejak dulu memasang umpan perangkap terhadap aktivis – aktivis islam meletakkan dua konsepsi yang berbeda secara diametral dalam satu istilah.
Tujuannya adalah memalingkan ummat dari keterikatannya pada AQIDAH dan hukum – hukum islam untuk kemudian menerima paradigma nilai – nilai modernitas barat.
Padahal islam adalah agama samawi yang di turunkan ALLAH SWT kepada Muhammad SAW untuk mengatur interaksi antara manusia dengan Tuhan-Nya, dengan dirinya sendiri, dan dengan manusia laninnya. Sebaliknya liberalisme sendiri merupakan suatu filosofi yang muncul di eropa barat pada pergolakan kelas menengah.

Liberalisme muncul pada masa renaisance yang menjadi pemicu terjadinya revolusi prancis dan amerika.

Berkaca pada Islam Kaffah.

Demokrasi/Liberasi merupakan wacana pemikiran yang paling dominan yang sekaligus malahirkan sejumlah pemikiran derivat seperti kebebasan berpikir dan berpendapat, persamaan kedudukan agama, kesetaraan gender, pergaulan antara peradaban dan seterusnya. Demokrasi merupakan kata yang memiliki konotasi istilah yang khas, ia sengaja di pergunakan pencetusnya untukmenyebut sistem pemerintahan tertentu yang di bangun berdasarkan asas rakyata merupakan sumber kekuasaan dengan itu rakyat di beri hak untuk membut undang – undang dan sistem sesuka dan semau hati tanpa melihat pertimbangan  - peretimbangan lain. Makna – makna tersebut sangat berbeda dan bertentangan secara diametral dengan hukum – hukum islam bahkan demokrasi itu sendiri adalah merupakan ide absurd yang tidak pernah ada kenyataannya, bahkan mustahil menuntut seluruh rakyar untuk berkumpul di satu tempat secara terus menerus untuk memberikan pendapat, pertimbangan, dan usulan dalam berbagai urusan, kemudian mengambil suatu keputusan.

Plato sendiri menilai ide ini sangat obsurd. Pemerintah yang demokrasi di anggap sebagai bentuk pemerintah yang luwas, penuh dengan keragaman dan kekacauan, yang secara ilmiah akan terjadi tirani, jika rakyat di izinkan untuk membuat keputusan secara kolektif mereka pasti hanya akan membesar – besarkan kepentingan mereka sendiri, ini adalah fenomena – fenomena yang kita saksikan di berbagai negara yang memakai sistem demokrasi, Sementara untuk kita yang mengawali ke – ada – an kita dengan pengakuan kita terhadap eksistensi kekuasaan ILAH pada acara perjanjian primordial yang kita angkat dan kita persaksikan di hadapan Allah SWT ( lihat QS : 7 : 172 ) mesti dengan penuh ke-Ikhlas-an untuk menjadika Syari’at Islam sebagai ideologi (Pandangan hidup ) bukannya Liberalisasi/Demokrasi/Modernisasi yang padas dasarnya kesemua itu adalah produk kapitalisme barat/eropa, Allah SWT berfirman :
“ Tidak patut bagi laki – laki mukmin dan tidak ( pula ) wanita mukmin, jika Allah dan Rasul-Nya  telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagian mereka pilihan        ( yang lain ) tentang urusan mereka. Siapa saja yang mendurhakai Allah dan Rasul – Nya maka sungguh  dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.
( QS : Al – Ahza : 36 )  
Demikianlah Allah telah mengajarkan hal ikhwal yang berhubungan dengan perbandingan konsep yang di agung – agungkan barat bukannya melakukan sebuah liberasi, kebebasan, kesetaraan dan sebagainya sehingga kemudian membawa kita kepada jalan yang keliru.

Dalam berbagai konklusi pemikiran maupun hukum yang masuk dalam mazhab islam liberal, jika di cermati tidak cukup fair dalam melakukan pendekatan atas teks – teks ayat Qur’an, Sunnah, serta pendapat – pendapat para imam mujtahid dan para ulama ushul fiqhi. Teks – teks Al – Qur’an di perlakukan sebagaimana teks – teks lain yang di dekati dengan pendekatan hermeneutek, sementara itu pendapat para imam mujtahidterdahulu pun di kesankan seolah – olah sebagai tafsir belaka.
Di pengaruhi oleh sosio-kulturalnya wajar jika sejumlah kaidah baku yang telah establised dan di sepakati para mujtahid acapkali di konstruksi demi menggulirkan wacana tertentu misalnya : mengapa alur logika di jumpai bahwa tidak ada perintah Tuhan untuk mendirikan agama islam  dalam Al – Qur’an, sangat ironis karena ketika kita bicara negara kita di tuntut untuk berpikir rasionalistik belaka dengan asumsi tidak ada campur tangan Tuhan, akan tetapi ketika kita berbicara tentang persoalan haram/halal kemudian di klain dengan pemikiran yang normatif, demikianlah liberalisasi, jika kita menggunakan logika yang sama bukankah substansi demokrasi yakni kedaulatan rakyat…? Yang sangat kontradiktif dengan konsep islam yang hanya mengenal kadaulatan Tuhan….? Dengan logika berpikir yang sama pula, bukankah sistem islam sebagaimana sistem demokrasi, tidak akan bisa ditegakkan kecuali di dalam sebuah institusi negara….?  Dengan kata lain, bukankah sistem islam bisa pula di tegakkan  dalam struktur negara Islam, sebagaimana sistem demokrasi di tegakkan di dalam struktus negara demokrasi pula

Melekatkan Islam dengan termin Liberalisasi sama sekali tidak menjunjung islam, malah sebaliknya, islam di turunkan sama sekali sebagai pengekor sebab berasal Allah, sang Pencipta langit dan bumi. Islam seharusnya hanya tercermin melalui Allah dan Rasul-Nya. Bukan melalui pikiran liberal Arkoun, Charles Kurzman, Abdurrahman Wahid atau yang lain – lain. Hal ini merupakan cara yang paling buruk, alih – alih memajukan umat, justru hal ini akan menjadi penghancur umat dari berbagai dimensi

Oleh  : Mariyanto Nur Syamsul AM-Qalbi
            “ Anto “
            Anggota Kelompok Kajian
Tanpa Bentuk  

0 komentar:

Posting Komentar